Buyung Sutan Muchlis
Kami sedang asyik bermain di halaman depan. Matahari menyala terang. Sinarnya memantul menyilaukan di dalam ember plastik berisi air tempat kami memasukkan beberapa ikan kecil. Kami sedang memberikan ikan-ikan ini dengan cacing tanah. Tiba-tiba hujan turun. Padahal langit tak berawan.
“Cepat masuk! Cepat! Ini ujan (hujan) baranak bote,” teriak ibu saya dari dalam rumah.
Di Alas, Sumbawa, hujan panas atau hujan zenithal, yang jatuh saat matahari sedang terik, terjadi karena tiupan angin dari area yang sedang hujan, disebut ujan baranak bote. Konon, hujan jenis ini sering menjadi penyebab sakit. Bisa panas tinggi atau sakit kepala berkepanjangan. Hujan baranak bote turun tiba-tiba, tetapi biasanya hanya beberapa menit.
Setiap terjadi, ibu-ibu panik menyuruh anak-anak mereka pulang atau mencari tempat berteduh. Saya penasaran pada kata baranak bote (beranak monyet). Apa hubungannya hujan dengan monyet?
Saat saya memandongak ke atas, saya tak melihat monyet di angkasa, seekor pun. Jawabannya saya dapatkan lima belas tahun yang lalu. Pada saat hujan panas, itulah petanda monyet sedang melahirkan.
Tapi, di mana monyet-monyet itu? Jika 10 kali saja sebulannya ada ujan baranak bote, maka 1000 monyet betina beranak massal. Bertambahlah populasi 10 ribu bayi monyet dalam sebulan. Belum terhitung bayi kembarnya.
Sementara di Alas, sejak garo (kebun) yang rimbun dengan pepohonan, berubah menjadi pemukiman warga dalam dua puluh tahun terakhir, saya tak pernah melihat monyet lagi. Suaranya pun tak terdengar. Tetapi, ujan beranak bote masih terus terjadi. Walaupun bote telah terusir peradaban yang hiruk-pikuk. Mereka beranak, nun jauh di belantara yang sepi. Belantara yang pada gilirannya juga terancam punah, diterabas penjarah yang membawa mesin-mesin yang meraung serakah.