Ekonomi Pasca-Lubang dan Kembalinya Homo Experiens

Sepanjang sejarah manusia, aktivitas perjalanan selalu melibatkan dua hal, pergerakan tubuh dan perluasan makna. Sejak Homo sapiens meninggalkan Afrika Timur, migrasi bukan sekadar usaha bertahan hidup, tetapi pencarian atas “di mana aku berada, dan mengapa aku ada di sini.”

Ketika manusia kuno meninggalkan gua untuk mencari wilayah baru, mereka tidak hanya mencari makanan, tetapi mencari ruang untuk menafsirkan ulang kehidupan. Maka, ketika hari ini kita menyebut “pariwisata”, sesungguhnya kita sedang mengulang ritual purba, mencari realitas alternatif yang bisa menantang cara kita memandang dunia dan diri sendiri.

Sumbawa Barat, dengan lanskap yang perawan dari polusi budaya industri, adalah satu dari sedikit wilayah yang belum kehilangan ritme asalnya. Di sini, bumi belum dibungkam sepenuhnya oleh semen, dan laut belum sepenuhnya dikonversi menjadi panggung selfie. Komunitas-komunitas lokal masih hidup dalam ekologi makna, bukan hanya ekonomi pasar. Namun, justru di sinilah ironi lahir, keaslian ini belum dilihat sebagai kekuatan naratif, tetapi hanya sebagai aset visual.

Sebagian besar perencana masih memandang wisata sebagai produk tontonan, bukan ruang distribusi nilai-nilai eksistensial. Secara struktural, pembangunan wisata Sumbawa Barat masih bersifat eksploratifreaktif. Ia belum tumbuh dari sistem pengetahuan lokal, tetapi dari logika “asal ada dana dan pemandangan.” Dominasi aktor tunggal seperti pemerintah atau perusahaan tambang menciptakan struktur top-down yang kerap tidak mendengarkan suara akar rumput. Akibatnya, banyak yang dibangun tapi sedikit yang dihayati.

Pertumbuhan yang dibentuk oleh dana bukan oleh gagasan akan selalu rapuh dalam jangka panjang. Tapi sejarah membuktikan, peradaban manusia tumbuh bukan karena sumber daya, tetapi karena kemampuan membangun fiksi kolektif. Kita membangun kerajaan, negara, bahkan merek, karena kita sepakat pada cerita yang sama. Maka, yang dibutuhkan Sumbawa Barat bukan masterplan infrastruktur, tapi sebuah cerita kolektif yang dipercaya dan dihidupi bersama. Bahwa setiap wisatawan yang datang bukanlah konsumen, tapi penziarah peradaban. Bahwa homestay bukanlah ruang inap, tapi tempat di mana nilai agraris dan modernitas saling belajar.

Solusi yang harusnya ditawarkan bukanlah proyek berskala besar, melainkan pembangunan infrastruktur kesadaran, pelatihan narasi untuk pemuda desa, kurikulum lokal yang mengangkat sejarah dan cerita rakyat, serta platform digital yang memungkinkan pertukaran makna antara komunitas lokal dan tamu yang datang. Ketika warga mampu menyampaikan cerita tentang tanahnya dengan kehangatan, saat itulah wisata berubah menjadi peristiwa transformasional. Sejarah mengingatkan kita bahwa dunia manusia dibangun oleh cerita yang disepakati. Maka, produk wisata utama Sumbawa Barat bukan pantai, gunung, atau sunset, melainkan gagasan bahwa manusia dan alam dapat hidup berdampingan tanpa harus saling mengeksploitasi.

Ini bisa dihadirkan dalam bentuk wisata regeneratif, pertanian organik terbuka, hingga retret kontemplatif di tengah lanskap yang belum dipoles. Semua ini bukan “produk jual,” tapi proposisi makna. Untuk mewujudkannya, perlu dibentuk mekanisme refleksi lokal, bukan birokrasi tambahan. Bayangkan desa-desa memiliki dewan narasi yang berfungsi seperti kurator pengalaman, mereka bukan hanya menentukan menu makanan, tetapi menyusun pengalaman eksistensial. Misalnya, paket “Malam di Ladang,” di mana tamu membantu menanam, memasak dengan kayu, dan mendengar dongeng rakyat.

Ini bukan event, ini ritus peradaban yang dikemas sebagai pengalaman hidup. Dalam lanskap wisata global yang semakin seragam akibat industrialisasi naratif (branding massal), keotentikan akan menjadi komoditas langka. Bali yang dulu mistis kini bergema sama dengan Lisbon atau Phuket di mata turis global. Maka, yang tersisa dari pasar masa depan adalah tempat-tempat yang berani menulis narasinya sendiri, tanpa meniru pola korporasi pariwisata.

Di titik ini, Sumbawa Barat bisa menjadi salah satu dari sedikit tempat yang menjual “kembali ke kemanusiaan.” Bukanlah jumlah turis yang harus jadi indikator kesuksesan, tapi kedalaman pengalaman. Apakah mereka kembali? Apakah mereka menulis tentangnya? Apakah mereka mengubah cara hidup setelah pulang? Ukuran yang dibutuhkan bukan statistik kunjungan, tapi tingkat transformasi psikologis dan sosial dari setiap interaksi.

Ini adalah wisata sebagai ritual peradaban, bukan transaksi ekonomi semata. Ini bukan hanya soal ekonomi. Ini soal evolusi spiritual masyarakat pasca-tambang. Dari manusia yang menggali tanah untuk bertahan hidup, menjadi manusia yang menggali makna untuk tumbuh bersama. Jika Sumbawa Barat berani mengambil jalan ini, maka ia bukan hanya akan menjadi destinasi wisata. Ia akan menjadi laboratorium dunia tentang bagaimana wilayah yang pernah hidup dari lubang bisa menjadi pusat distribusi pengalaman global.

Penulis : Roby Nur Akbar, S.AB., M.AB

(Dosen dan Ketua Program Studi Manajemen Universitas Merdeka Malang)