Buyung Sutan Muhlis
Dari mulut gang menuju rumahnya di Desa Gontar, Kecamatan Alas Barat, Sumbawa, lamat-lamat terdengar syair pantun dalam bahasa lokal diiringi petikan gambus. Iramanya tidak serupa dengan aliran musik dari mana gambus berasal di Timur Tengah.
Pantun yang diiringi musik gambus itu bernama bakelung. Musik tradisional ini terakhir kali berjaya di tahun 1970an. Setelah grup band, terakhir elektone, merambah Sumbawa, musik bakelung menghilang tergusur jaman.
“Dulu di hampir setiap acara sunatan dan perkawinan, bakelung menjadi salah satu hiburan yang digemari masyarakat. Pemusik dan penyanyinya ditanggap semalam suntuk,” kata Rahman, seorang seniman musik kelung di rumahnya.
Rahman yang akrab dipanggil Meng, satu dari segelintir musisi gambus kelung yang masih eksis. Ia tak hanya piawai memetik gambus, tapi juga ahli membuat alat musik ini.
“Jenis gambus Sumbawa tidak ada dijual, jadi kita bikin sendiri,” ucap Meng yang juga melayani pemesanan pembuatan alat musik gambus.
Berbeda dengan desain alat musik gambus dari Negeri Arab, Turki, ataupun versi Melayu, gambus bakelung di Sumbawa ukuran bodinya lebih kecil. Juga berbeda jumlah dawai. Jika gambus Arab sebanyak 11 senar, gambus Melayu 7 senar, maka varian gambus bakelung Sumbawa hanya lima dawai. Bagian depan perut atau bodi gambus Sumbawa dibuat setipis mungkin, dari bahan kayu atau kulit kambing. Meski lebih mungil, bunyi petikan alat musik lokal ini tak kalah nyaring dengan gambus berukuran besar.
Belakangan, keahlian Meng sebagai penerus bakelung menjadi perhatian pemerintah setempat yang menyadari mulai langkanya kesenian tradisional ini. Ia difasilitasi melalui pemerintahan desa mengorganisir para pemuda untuk menghidupkan kembali aset budaya lokal ini.
Tak hanya spesifik sebagai musik pengiring pantun, Meng juga memasukkan unsur gambus yang memberi nuansa tradisional pada pertunjukan musik modern. Misalnya aransemen musik pop daerah dengan sentuhan petikan gambus bakelung, terdengar lebih berkarakter.
“Sekarang gambus irama bakelung juga sering menjadi musik instrumentalia untuk mengiringi tari-tarian Sumbawa,” ujarnya.
Meng musisi otodidak. Ia mengusai permainan gambus bakelung sejak masih kecil. Tak hanya aliran bakelung Sumbawa yang bisa diiringinya. Sedikitnya ia menguasai lima varian kelung, masing kelung Samawa, Sasak (Lombok), Bajo, Bugis, dan Makassar.
“Karena seringkali penonton tak hanya mereka yang asli Sumbawa. Ada juga suku-suku lain yang menghadiri suatu acara. Ketika masing-masing menyumbang suara dengan pantun dari daerah asalnya, sebagai pegambus bakelung kita harus mampu mengiringinya,” ungkap Meng.
Lelaki ini menjuluki dirinya Ima Baduri Aru, artinya tangan berduri aru. Aru adalah tumbuhan yang sangat digemari komunitas Suku Samawa. Daun tanaman ini dimakan mentah, dijadikan bahan utama jenis pecelĀ atau urap tradisional di Sumbawa. Menu pecal aru ini sama populernya dengan sepat sebagai kuliner khas di Tana Samawa. Lalu mengapa Rahman memilih duri aru sebagai kiasan?
“Duri aru itu suka menggaet apa saja. Roa ngeraga kiri kanan (suka ke sana-sini, bahasa Samawa). Tangan saya itu tak bisa diam. Jadi cocok dengan perumpamaan duri aru,” jelas ayah tiga anak ini.
Tangan Meng memang tak pernah berhenti beraktifitas. Sehari-hari ia mengandalkan kemampuannya sebagai tukang kayu. Di rumahnya, hampir semua perabotan yang berbahan kayu ia buat sendiri. Ia tukang yang tergolong kreatif.
Anok bongan (kolong rumah) Ima Baduri Aru praktis menjadi studio yang unik. Di situ terdapat sejumlah peralatan musik. Mulai dari alat tradisional seperti gambus, gong, dan gendang, hingga seperangkat gitar elektrik, biola, dan sound system. Bermacam jenis gendang dari kulit hewan juga bikinannya sendiri.
Beberapa kali dalam seminggu ia berlatih bersama sejumlah pemuda, termasuk anak lelakinya yang bungsu. Di usianya yang kini tak muda lagi, Ima Baduri Aru semakin bergairah. Ia kini tak kesepian, tak sendirian lagi mengemban misi pelestari dan penelusur jejak tradisi.