Pokir DPRD Dalam Pusaran Kejahatan Terstruktur ?

Sudah menjadi rahasia umum bila para anggota DPRD mendapat jatah kegiatan/proyek APBD pembangunan fisik maupun pengadaan setiap tahunnya melalui usulan/aspirasi yang sekarang disebut Pokok Pikiran (Pokir) Dewan.

Sayangnya, dari sejumlah penelusuran media, proyek Pokir yang anggarannya mencapai ratusan juta itu diduga diperjualbelikan kepada kontraktor, sementara oknum dinas tempat Pokir itu berada disinyalir menjadi pengepulnya.

Dugaan kolusi antara dewan dan dinas dalam proyek Pokir ini ditengarai untuk mengelabui bidikan hukum. Mereka belajar dari kasus yang banyak terjadi diluar daerah.

Modus praktiknya, oknum dinas menawarkan kepada kontraktor dengan komitmen fee 10 hingga 15 persen dari pagu proyek Pokir. Selanjutnya, komitmen fee diserahkan kembali kepada oknum dewan dengan nilai bervariasi antara 30 sampai 50 persen.

Secara sederhana, Pokir adalah usulan program atau kegiatan pembangunan yang diajukan DPRD kepada pemerintah daerah, menyusul usulan itu berasal dari aspirasi masyarakat yang mereka wakili.

Ketentuan Pokir sejatinya juga bagian sah dalam proses perencanaan pembangunan daerah sebagaimana diatur dalam pasal 178 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017. Implementasinya merupakan kajian permasalahan pembangunan daerah yang di peroleh dari DPRD berdasarkan risalah Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses.

Namun lagi-lagi Pokir ini justru disisipi kepentingan pribadi maupun transaksi anggaran yang menyimpang dari prinsip akuntabilitas dan tidak berkesesuaian dengan Rencana Jangka Menengah Daerah (RJPMD) yang telah ditetapkan. Tak salah jika kemudian banyak temuan, aspek pokok pikiran dalam Pokir itu tidak lagi nampak. Nampak dari pandangan Dewan adalah dimensi anggaran atau duit. Pokir adalah sandi rahasia bagi anggota DPRD untuk memainkan APBD guna membiayai coast politic electoral yang semakin mahal.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah V, sesungguhnya menemukan indikasi anomali dalam penyaluran dana pokok pikiran (pokir) DPRD Nusa Tenggara Barat. Dalam praktiknya, ditemukan sejumlah pelanggaran, seperti hibah uang yang tidak jelas dasarnya, yayasan fiktif, dan indikasi adanya fee atau praktik ijon,(tempo.co, 24 November 2024).

KPK juga mencatat bentuk penyimpangan lain termasuk pengajuan tak sesuai prosedur, perubahan pokir setelah pembahasan anggaran, hingga tidak ada pertanggungjawaban yang sesuai fakta atas belanja hibah dan bantuan.

Tak salah jika kemudian KPK merekomendasikan perbaikan dalam tata kelola perencanaan dan penganggaran pokir DPRD ini. Apalagi syarat utama perbaikannya adalah lewat transparansi dan kepatuhan aturan, seperti pokir harus berupa program yang dirancang oleh OPD sesuai dengan aspirasi masyarakat. Selain itu, larangan penyisipan program yang tidak relevan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Prinsipnya Pemerintah Daerah (pemda) perlu berhati-hati dan cermat dalam menangani pokok pikiran (Pokir) DPRD karena seringkali menjadi titik rawan konflik kepentingan dan potensi penyalahgunaan. Pemda harus memastikan Pokir sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kebutuhan masyarakat, dan tidak berpotensi menimbulkan korupsi.

Harus lebih tegas dalam memberikan porsi anggarannya dan benar benar berani menolak jika tidak sesuai. Tidak malah berkonspirasi atau bermain mata. Dengan kejelian dan langkah-langkah yang tepat, Pokir dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mendorong pembangunan daerah yang partisipatif, transparan, dan akuntabel, serta memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Sutan Zaitul Ikhlas

Pimpinan Redaksi Harian NTB Online